Friday, March 11, 2011

Mitos Salah Tentang Lemak








http://www.elshinta.com/v2003a/images/foto/lemak.jpg

Sejak beberapa dekade terakhir ini, kata lemak selalu

dikait-kaitkan dengan penyakit. Mendengar kata lemak saja,

sudah melambungkan image pada sesuatu yang tidak

sehat. Lemak selalu dikaitkan dengan kadar kolesterol

tinggi, penyakit jantung atau tekanan darah tinggi.

Tapi benarkan semua itu ?. Para pakar ilmu pangan

selalu mengkaitkan lemak, khususnya lemak hewani

dengan risiko serangan jantung. Akan tetapi

sejauh ini belum ada bukti ilmiah menyangkut dampak

negatif lemak. Kebanyakan publikasi berisi tuduhan,

tapi bukan bukti. Bahkan penelitian menunjukan, kaitan

antara berbagai kasus penyakit dengan konsumsi lemak,

ternyata kebalikan dari tuduhan.



Mitos menyesatkan menyangkut lemak, dimulai dengan

propaganda di tahun 50-an. Ketika itu di Amerika

Serikat mulai dilancarkan perang melawan lemak. Tokoh

penggagasnya adalah Ancel Keys, ahli kedokteran dari

Universitas Minnesota. Ia menyebutkan, mengamati

sejumlah kasus di infark jantung berbagai negara. Keys

menarik kesimpulan, di negara yang konsumsi lemak

hewaninya rendah, angka serangan infark jantungnya

juga amat rendah. Mulai saat itulah Keys

mengkampanyekan gerakan hidup sehat, dengan mengurangi

makan lemak hewani.



Akan tetapi Keys juga harus mengakui, tidak terdapat

bukti kuat menyangkut dampak makanan terhadap risiko

serangan jantung. Sampai akhir tahun 60-an, bukti

ilmiah mengenai dampak makanan, khususnya lemak hewani

pada risiko penyakit tetap tidak ditemukan. Tahun 1969

komisi ahli dari institut kesehatan jantung nasional

Amerika Serikat-NHI mengumumkan, tidak mengetahui

apakah perubahan pola makan berdampak langsung pada

risiko penyakit jantung dan metabolisme. Bahkan Edward

Ahrens, ilmuwan perintis penelitian kadar kolesterol

dari Universitas New York mengatakan hal yang

kontroversial. Disebutkannya, kekurangan lemak boleh

jadi lebih merusak kesehatan dibanding kelebihan

lemak.



Akan tetapi berbagai penelitian ilmiah saat itu,

dinihilkan begitu saja oleh politik. George Mc Govern,

kandidat presiden dari partai Demokrat, yang juga

senator dari negara bagian South Dakota, pada tahun

1968 mengangkat tema lemak ini dalam kampanye-nya. Ia

mengatakan, baru saja melakukan diet anti lemak yang

ketat. Mc Govern mengobarkan kampanye bertema program

makanan sehat tanpa lemak. Ia juga menugasi Nick

Mottern, seorang wartawan kawakan untuk menuliskan

haluan kampanye anti lemak tsb. Mottern pada saat itu

juga sudah mengubah gaya makannya menjadi seorang

vegetarian.



Dari sinilah mulai bergaungnya mitos keliru mengenai

lemak. Pengaruh media massa jauh lebih besar dibanding

publikasi hasil penelitian ilmiah yang sulit dicerna

awam. Pada tahun 70-an gelombang aksi makanan anti

lemak menyebar ke seluruh dunia, terutama ke Eropa.

Rumusan komposisi bahan pangan yang dicanangkan, hanya

30 persen kalori berasal dari lemak, dan maksimal 10

persennya lemak hewani. Akan tetapi berbagai

penelitian menyangkut dampak negatif lemak hewani pada

kesehatan manusia, tetap tidak berhasil membuktikan

kaitan langsungnya. Bahkan kelompok kerja di institur

kesehatan nasional Amerika Setikat-NIH, setelah

menelitinya selama 11 tahun akhirnya menyerah.

Diumumkan, sejauh itu tidak terdapat bukti meyakinkan,

menyangkut korelasi konsumsi lemak dengan gangguan

kesehatan.



Sampai tahun 2000 yang lalu, mitos makanan miskin

lemak sebagai makanan sehat masih bergaung di seluruh

dunia. Akan tetapi banyak sekali bukti yang menentang

dogma itu yang tetap disembunyikan. Misalnya saja di

Amerika Serikat, yang merupakan cikal bakal gerakan

anti lemak, terbukti jumlah warga yang dirawat di

rumah sakit akibat gangguan jantung dan metabolisme

terus meningkat. Memang jumlah kematian akibat infark

jantung menurun, namun hal itu lebih disebabkan

perawatan medis yang lebih baik, bukan karena makanan

miskin lemak.



Data menunjukan, dalam waktu tigapuluh tahun konsumsi

lemak rata-rata warga Amerika Setikat sudah turun

sekitar 6 persennya. Namun penurunan ini, tidak

diikuti penurunan signifikan kasus penyumbatan

pembuluh darah atau penyakit jantung. Bahkan terlihat

paradox dari prestasi penurunan konsumsi lemak. Dalam

dekade terakhir ini, jumlah warga AS yang kelebihan

berat badan malahan meningkat 8 persen, menjadi

keseluruhannya 22 persen populasi. Dampaknya kasus

diabetes akibat kelebihan berat badan, juga meningkat

tajam. Diduga hal itu disebabkan perubahan pola makan,

dari lemak ke karbohidrat. Juga banyak yang meyakini,

dengan mengurangi makan lemak, mereka boleh makan

bahan pangan lain tanpa batas.



Penelitian selanjutnya menyangkut dampak negatif lemak

terhadap kesehatan, malahan mengukuhkan bukti

sebaliknya. Sebanyak 117.000 perawat di Amerika

Serikat yang sebelumnya secara sukarela mengisi angket

mengenai kebiasaan makan, diteliti kesehatannya selama

beberapa tahun. Hasilnya amat mencengangkan. Mereka

yang mengikuti trend mengurangi makan lemak, secara

rata-rata tidak lebih baik status kesehatannya dari

mereka yang makan sembarangan. Bahkan di kalangan

wanita, setelah 12 tahun tidak ada korelasi apapun

antara kebiasaan makan dengan risiko penyakit kronis.

Bahkan ada kecenderungan, mereka yang kekurangan lemak

menurun kelenturan dan ketahanan pembuluh darahnya.



Kini semakin banyak peneliti ilmiah yang justru

menekankan bahwa lemak itu sehat dan penting untuk

fungsi kehidupan. Lemak adalah bagian terpenting dalam

membran sel. Otak misalnya, sekitar 70 persennya

terdiri dari lemak. Kekurangan lemak dalam bahan

pangan, justru akan menurunkan fungsi otak. Banyak

responden di kalangan perawat, yang menyatakan

mengurangi makan lemak, bahkan meningkat risikonya

terkena serangan stroke. Berbagai penelitian terbaru,   
memang belum mematahkan mitos keliru, lemak itu

berbahaya bagi kesehatan. Namun saran pakar makanan

nampaknya layak disimak, yakni makanlah secara

seimbang antara lemak, karbohidrat dan buah-buahan.
 
sumber:http://terselubung.blogspot.com/2009/11/mitos-keliru-mengenai-lemak.html